Oleh : Ngurah Sigit.
BALI - Pohon bambu adalah salah satu simbol alam yang kaya akan makna dan nilai-nilai kehidupan. Ia tumbuh dalam rumpun, berdiri kokoh bersama, dengan akar yang saling berjalin, menopang satu sama lain. Ketika angin kencang datang, bambu tidak patah. Ia hanya melentur, mengikuti hembusan angin, dan kembali tegak saat badai berlalu. Filosofi sederhana namun mendalam inilah yang menggambarkan spirit kebersamaan, pengabdian, dan keteguhan yang tercermin dalam sosok Prof. Ir. I Ketut Sudarsana.
Sebagai seorang akademisi, insinyur, dan tokoh yang telah mengabdikan hidupnya dalam bidang pendidikan serta pelayanan masyarakat, Prof. Sudarsana hidup dengan filosofi pohon bambu yang begitu erat tertanam dalam dirinya. Ia percaya bahwa keberhasilan sejati tidak dapat dicapai seorang diri. Seperti rumpun bambu yang selalu tumbuh bersama, ia selalu menekankan pentingnya kerjasama, kebersamaan, dan solidaritas dalam setiap aspek kehidupan, baik itu di dunia akademik maupun dalam pengabdian masyarakat. Ketika ia mengajar, Prof. Sudarsana tidak hanya membagikan pengetahuan, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kebersamaan. Ia menanamkan dalam diri para mahasiswa dan rekan-rekannya bahwa kontribusi individu harus selalu terhubung dengan tujuan bersama. Dalam kebersamaan, setiap orang bisa menjadi lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih mampu menghadapi tantangan.
Kisah hidupnya tidaklah selalu mulus. Seperti halnya bambu yang harus menghadapi angin kencang, Prof. Sudarsana juga menghadapi banyak rintangan dalam perjalanan kariernya. Namun, ia adalah sosok yang fleksibel, seperti batang bambu yang melentur tanpa patah. Setiap tantangan, baik dalam bidang pendidikan maupun teknik, ia hadapi dengan sikap yang tegar namun lentur. Fleksibilitasnya tidak berarti kelemahan, tetapi justru menjadi kekuatannya. Ia mampu beradaptasi dengan perubahan dan dinamika zaman, baik dalam teknologi maupun kebijakan, tanpa kehilangan integritas dan tujuan awalnya: mengabdi untuk kepentingan orang banyak.
Di balik semua itu, ada satu hal yang sangat menonjol dalam dirinya: pengabdian yang tulus. Prof. Sudarsana tidak hanya membatasi pengabdiannya di ruang kelas atau kantor. Seperti bambu yang setiap bagiannya dapat dimanfaatkan, ia selalu berupaya memberikan kontribusi nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Dari pengembangan teknologi tepat guna hingga pelatihan sumber daya manusia, ia turun langsung ke lapangan, memberikan solusi bagi masyarakat yang membutuhkan. Filosofi bambu yang serba guna dan penuh manfaat menjadi cerminan hidupnya. Ia tidak hanya memberi ilmu, tetapi juga memberi manfaat yang lebih luas untuk kemajuan bangsa.
Dalam setiap langkah hidupnya, Prof. Sudarsana menunjukkan bahwa filosofi pohon bambu bukan hanya sekadar metafora, tetapi sebuah prinsip hidup. Spirit kebersamaan, keteguhan, fleksibilitas, dan pengabdian telah menjadi dasar dari setiap tindakan dan keputusannya. Baginya, hidup bukan hanya soal pencapaian pribadi, tetapi bagaimana kita bisa berkontribusi bagi orang lain, bagi lingkungan, dan bagi bangsa.
Di dunia yang semakin penuh dengan tantangan ini, nilai-nilai yang dihidupi oleh Prof. Sudarsana menjadi relevan dan sangat penting. Ia mengingatkan kita bahwa, seperti rumpun bambu, kita akan lebih kuat jika kita saling mendukung, saling menopang, dan bersama-sama menghadapi badai kehidupan. Pengabdiannya dalam pendidikan, penelitian, dan pelayanan masyarakat adalah teladan nyata tentang bagaimana seseorang dapat berbuat banyak untuk orang lain tanpa mengorbankan prinsip-prinsip integritas dan ketulusan. Seperti pohon bambu yang tetap tegak setelah badai, Prof. Sudarsana mengajarkan bahwa keteguhan hati, kesabaran, dan kebersamaan adalah kunci untuk menghadapi segala tantangan dalam hidup.
Filosofi pohon bambu yang selalu tumbuh bersama, saling menguatkan, dan penuh manfaat adalah esensi dari dedikasi Prof. Ir. I Ketut Sudarsana. Melalui setiap tindakan, ia telah menjadi simbol nyata dari bagaimana kebersamaan, pengabdian, dan pelayanan yang tulus dapat membawa perubahan besar bagi kehidupan banyak orang. Bagi beliau, melayani dan mengabdi bukan sekadar tugas, melainkan panggilan hidup yang dilakoni dengan sepenuh hati, seperti bambu yang memberikan manfaat tanpa pamrih, dan tetap kokoh di tengah segala rintangan.
Penulis Adalah : Sosiolog, Budayawan dan Pemerhati Media.
Baca juga:
Pledoi Pawang Hujan Mandalika
|